Inspirasi Daerah Dalam Mendukung Ketersediaan Air Baku Nasional

USAID IUWASH PLUS menggelar dialog kebijakan bertajuk Membangun Sinergitas Sumber Daya Air Untuk Mendukung Ketersediaan Air Baku Nasional, Selasa (1/12). Dalam kegiatan yang berlangsung secara hybrid tersebut, selain dialog antar kementerian, diadakan juga sesi berbagi pembelajaran daerah dalam mendukung ketersediaan air baku, utamanya dengan pendekataan Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA–RA) dan sumur resapan.

Pada sesi berbagi pembelajaran, ada Alwan Muhammad Arief, seorang dokter ahli anestesi yang  bekerja di ruang operasi ini memilih untuk ikut turun tangan, bersama-sama dengan pemerintah daerah dan juga masyarakat untuk memikirkan bagaimana cara mengatasi persoalan air bersih di Ternate.

“Tahun 2014, di Ternate terjadi intrusi air laut yang luar biasa. Intrusi tersebut tidak hanya mencemari air milik warga, namun juga sumber air terbesar di Ternate yaitu Sumber Air Ake Ga’ale,” ujar Arief.

Akibatnya, menurut Arief, masyarakat sekitar mengkonsumsi air asin yang kemudian berujung terjadinya aksi protes di mana-mana yang ditujukan kepada pemerintah setempat.  Situasinya memang demikian tidak kondusif pada saat itu. Arief menuturkan, setelah USAID IUWASH PLUS datang dan menawarkan KKMA dan mengusulkan pembangunan seribu sumur resapan sebagai solusi.

“Solusi tersebut ternyata berhasil mengubah mata air Ake Ga’ale yang semula asin menjadi tawar. Ini merupakan bukti bahwa KKMA yang dilanjutkan dengan pembangunan sumur resapan, berdampak langsung pada perbaikan kualitas dan kuantitas air di sumber air kami,” ungkap Arief.

Hal senada juga disampaikan oleh Camat di Kota Ternate Utara, Zulkifli, yang memandang bahwa KKMA dan gerakan membangun sumur resapan tersebut memberikan dampak signifikan dalam upaya konservasi lingkungan. “Kajian KKMA dan pembangunan sumur resapan tersebut memberikan dampak positif dalam upaya konservasi sumber daya air. Tidak hanya itu, kami juga berinovasi dengan menjadikannya sebagai tabungan air bersih bagi masyarakat sekitar,” ungkapnya.

Sementara itu, Perencana Ahli Madya Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air, Kementerian PPN/Bappenas, Nita Kartika mengatakan terkait dengan rehabilitasi sumber air baku, sayangnya selama ini upaya yang dilakukan belum optimal. “Ada permasalahan-permasalahan, seperti lokasi dan praktik Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)yang belum optimal, kemudian juga praktik dari RHL yang juga spot-spotnya tersebar dan tidak berada dalam satu hamparan,” ungkapnya.

Terkait dengan praktik pembangunan sumur resapan di beberapa wilayah seperti Ternate, Salatiga, dan Semarang, Nita menanggapi bahwa hal tersebut perlu untuk direplikasi dan terkait itu tentunya perlu ada dukungan, salah satunya terkait aspek pendanaannya.

Menyoal tantangan, Nita menyebutkan, salah satu tantangan yang terjadi dalam pengamanan air baku ini ialah terkait dengan rencana tata ruang yang belum bisa dikendalikan dengan baik. “Terkait rencana tata ruang, hal yang biasa terjadi yaitu mengenai harus mempertahankan tutupan hutan atau tentang tidak boleh dibangun sama sekali. Hal ini yang belum bisa dikendalikan secara baik,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Air Minum dan Sanitasi, Kementerian PPN/Bappenas, Nur Aisyah Nasution, juga turut mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh daerah terkait kajian kerawanan mata air. “Di Salatiga memang sudah terlihat bagaimana KKMA ini bisa membantu keberlangsungan mata air, sehingga dapat membantu keberlanjutan PDAM di masa mendatang,” ungkapnya.

Aisyah juga memandang bahwa dengan adanya inisiatif ini akan membantu pemerintah, terutama PDAM, untuk bisa menjamin keberlangsungan air. “Karena seperti yang disampaikan sebelumnya, bahwa 43 persen sumber air baku dari PDAM, masih bergantung kepada mata air,” ujarnya.

“Makanya kita berharap hal ini bisa diinternalisasikan ke dalam sistem perencanaan anggaran di pusat. Jadi tidak hanya dilakukan di lokasi USAID IUWASH PLUS, namun juga di berbagai lokasi lainnya,” tambahnya.

Berbicara mengenai pengendalian kerusakan mata air, Kasubdit Pengendalian Kerusakan Perairan Mata Air dan Air Tanah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  Amin Sutanto mengatakan, telah ada program khusus terkait hal tersebut. “Kami memiliki program khusus bernama perlindungan mata air. Kita ketahui memang mata air itu banyak, jumlahnya ribuan. Adapun tahapan yang bisa dilakukan untuk perlindungan mata air adalah melakukan inventarisasi mata air di seluruh Indonesia dan melakukan penilaian kerusakan untuk menentukan prioritas penanganannya,” jelasnya.

Terkait dengan RHL, Amin menyebutkan, pada tahun 2018, Indonesia memiliki lahan kritis sekitar 14,1 juta hektar dan semenjak tahun 2015, KLHK juga sudah melakukan RHL. “Kami bersama dengan mitra terkait, pada tahun 2015 – 2018 telah melakukan RHL seluas 780 ribu hektar, dan semenjak tahun 2019 – 2020, sekitar 250 ribu hektar,” jelasnya.

Amin mengakui bahwa upaya rehabilitasi ini memang belum berjalan secara maksimal. “Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemerintah khususnya KLHK hanya memiliki kemampuan untuk merehabilitasi sebanyak 200 ribu per hektar. Sementara, lahan kritis kita itu adalah 14 juta. Jadi tidak sebanding dengan kemampuan anggaran yang kita miliki,” ujarnya.

Atas dasar itulah, menurut Amin, perlu adanya kolaborasi yang intensif dengan mitra-mitra lainnya seperti pemerintah daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi.

Disisi lain, Koordinator Fasilitasi Sumber Daya Air, Lingkungan dan Kebencanaan, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Anastutik Wiryaningsih, mengatakan bahwa pihaknya mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Desa Patemon yang mengalokasikan dana desa untuk keperluan pembangunan sumur air resapan.

“Kami mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Desa Patemon ini akan menjadi contoh baik yang nantinya akan menjadi tugas kami untuk mereplikasi praktek baik ini ke seluruh desa di Indonesia yang saat ini berjumlah 74.691 desa,” ungkap Anastutik.

Sementara itu, pada sesi penutupan diskusi, Mantan Direktur Kehutanan dan Konservasi SDA, Kementerian PPN/Bappenas, Basah Hernowo membacakan poin-poin penting dari pertemuan tersebut, salah satunya adalah kenyataan bahwa masih adanya gap antara suplai dan demand untuk air baku. “Hal ini terjadi, baik karena kuantitas ataupun kualitasnya. Kualitas karena pencemaran naik atau daerah hulu sudah mulai terbangun. Selain itu juga ada tantangan dalam kontinuitas dan juga keterjangkauan, dimana jika airnya makin kotor, makin mahal maka tidak akan terjangkau oleh masyarakat. Jadi gap itu ada," tambahnya.

Menurut Basah, untuk saat ini penanganannya baru masuk pada level kuantitas dan dia berharap ke depannya persoalan kualitas juga turut diperhatikan. “Saat ini memang baru pada memberikan solusi pada persoalan kuantitas. Untuk kualitas harapannya bisa dilakukan nanti, karena akar dan tanah juga merupakan filter yang baik,” jelasnya.
Kemudian, Basah mengutarakan, pendekatan KKMA–RA dan sumur resapan merupakan salah satu jawaban untuk mengatasi persoalan gap yang terjadi, karena tidak perlu menggunakan teknologi yang rumit dan bisa dilakukan langsung oleh masyarakat.