Permukiman Kumuh, Bagaimana Menanganinya?

Permukiman kumuh berkaitan erat dengan kemiskinan dan terus tumbuh di perkotaan. Urbanisasi dan pertambahan penduduk semakin membebani kawasan kumuh dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Susenas di tahun 2019, ada 15,5 juta rumah tangga di Indonesia menempati kawasan kumuh, dimana DKI Jakarta sebagai kawasan metropolitan masih memiliki kawasan kumuh yang tersebar di 445 rukun warga.

Untuk itu, Pokja PPAS melalui program Nge-Lan-Tur (Ngobrol Lentur Urusan Perumahan dan Permukiman) kembali berkolaborasi bersama Roemah Kita TV (RKTV) dan TV Desa berdiskusi dalam acara Bincang Santuy Perkim, dengan mengusung tema “Permukiman Kumuh, Bagaimana Ya Menanganinya?” pada Jum’at, 17 September 2021 lalu yang tayang melalui Zoom Video Conference dan live streaming di Facebook Kota Tanpa Kumuh, Youtube Channel Roemah Kita TV, dan Youtube Channel TV Desa dengan viewers dan peserta yang hampir mencapai 1200-an.

Acara yang dimoderatori oleh Asri Inke ini turut mengundang dua narasumber diantaranya Sandyawan Sumardi selaku Pekerja Kemanusiaan, dan Wahyu Mulyana selaku Ahli Perumahan dan Perkotaan. Turut hadir juga Koordinator Perumahan, Direktorat Perumahan dan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas, Nurul Wajah Mujahid yang menjadi pemantik diskusi serta Amwazi Idrus sebagai penanggap dalam diskusi malam itu.

Dalam pemantiknya, Nurul Wajah Mujahid menyampaikan bahwa kumuh menjadi topik yang tidak pernah habis untuk diperbincangkan karena masih gagal menemukan akar masalahnya. Kumuh adalah residu dari kegagalan pemerintah dalam menyediakan sistem perumahan yang inklusif bagi semua orang. 

“Permukiman kumuh diakibatkan karena keterbatasan kemampuan rumah tangga berpenghasilan rendah dalam mengakses rumah layak yang sesuai dengan kebutuhannya. Akibatnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) memiliki hunian yang murah, berlokasi dengan pusat kegiatan, tetapi kondisi huniannya tidak layak, ditambah kepadatan tinggi, serta ketidakpastian status lahan juga minim infrastruktur dasar,” jelas Nurul.

Menurut Sandyawan Sumardi sebagai Pekerja Kemanusiaan, beberapa program terkait penanganan kumuh dirasa sulit untuk diwujudkan. “Program Kota Tanpa Kumuh itu seperti memandang aku ingin hidup 1000 tahun lagi, sulit untuk diwujudkan,” tukasnya. Sandy juga menjelaskan bahwa dalam penanganan kumuh perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat secara kualitatif maupun kuantitatif. Ia pun juga membagikan pengalamannya saat kumuh di Kampung Pulo dan Bukit Duri “Kami mencoba membangun kampung susun di Kampung Pulo, sistem pemberdayaan masyakarat harus digerakan lewat pendidikan non formal seperti pendidikan lingkungan hidup dan pendidikan koperasi”.

Seiring dengan pernyataan Sandyawan Sumardi, Praktisi Perumahan dan Perkotaan, Wahyu Mulyana pun mengatakan bahwa isu kumuh memang hal yang kompleks. Manifestasinya bisa dilihat dari sisi fisik namun jika didefinisikan tidak cukup jika hanya diukur dari satu sisi karena persoalannya lebih kompleks dari itu. “Kumuh bukan hanya manifestasi dari ledakan penduduk, tapi ada persoalan kegagalan tata kelola dan konsistensi perencanaan tata kota”,  tambah Wahyu Mulyana.

Menurut Wahyu sudah banyak pendekatan penanganan kumuh yang dikaitkan dengan program pengentasan kemiskinan seperti P2KP,  P3KP dan KOTAKU. Ada beberapa program permukiman yang lebih berorientasi pada infrastruktur, ada juga program yang berorientasi pada pengembangan masyarakat seperti BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). “Kumuh ini sangat rumit, sehingga tidak cukup hanya penanganan fisik saja karena ada masa expirednya. Mungkin yang dilakukan sekarang ini sudah baik, namun belum cukup untuk menangani kumuh,” jelas Wahyu.

Kumuh adalah wilayah yang luput dari pembangunan, manusia tidak terlibat secara langsung dan akhirnya melupakan fakta bahwa pembangunan itu tujuannya adalah untuk kesejahteraan manusia. “Kasus di Kampung Duri, proses awalnya adalah pusat ekonomi lama-kelamaan kawasannya menjadi kumuh. Dalam proses perubahan kawasan menjadi kumuh ini, masyarakatnya tidak melakukan koreksi dalam hal ini membiarkan kawasan manjadi kumuh, sementara pemerintah tidak mempertimbangkan keberadaan mereka,” jelas Amwazi Idrus menanggapi diskusi yang berlangsung.

Pada akhirnya, interaksi semua aktor baik Pemerintah Pusat dan Daerah, NGO serta masyarakat sendiri harus saling bersinergi demi penuntasan kumuh di Indonesia. “Pemerintah kota harus bisa mengkolaborasikan berbagai program yang ada, untuk pendekatan-pendekatan dari atas yang masih fragmented, karena di level kota berbagai kegiatan dapat dikolaborasikan di level ini,” tegas Wahyu mengakhiri diskusi Bincang Santuy Perkim malam itu.