World Water Week 2022: Hargai Air Minum, Hargai Sanitasi

World Water Week kembali digelar tahun 2022, setelah sebelumnya sukses diselenggarakan dan diikuti oleh lebih dari 4.000 peserta dari 135 negara. Salah satu forum global terbesar di sektor air minum ini telah terselenggara pada tanggal 23 Agustus sampai 1 September 2022, dengan mengangkat tema Seeing the Unseen: The Value of Water.
 
Rangkaian World Water Week tahun ini terdiri dari 300 sesi yang membahas topik-topik menarik seputar air minum, keamanan pangan, kesehatan, agrikultur, teknologi sampai ke krisis iklim. Salah satu sesi mengenai pentingya keterkaitan sektor air minum dan sanitasi yang diadakan pada hari Kamis (25/08) turut mengundang pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas, Tri Dewi Virgiyanti.
 
Membuka sesi diskusi, Research Director and Professor, UTS Institute for Sustainable Futures, Juliet Willets sebagai moderator sesi menyampaikan bahwa pengelolaan sanitasi yang buruk berpotensi besar merusak kualitas air minum bagi masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya layanan penyedotan tangki septik dan perpipaan air limbah domestik yang ada, serta jarak antara sumber air minum dan juga lokasi tangki septik yang terlalu dekat, “Selain sistem perpipaan dan lokasi tangki septik, kondisi air tanah dan juga intensitas penambahan curah hujan sangat berpengaruh dalam pencemaran sumber air minum,” tambah Juliet.
 
Sebelum masuk ke diskusi panel, Juliet mengajak peserta untuk memilih langkah-langkah yang dapat diambil agar sektor sanitasi juga dapat diprioritaskan seperti halnya air minum. Dari hasil survei singkat yang dilakukan, kebanyakan peserta memilih (1) sektor sanitasi dapat dijadikan layanan dasar di area perkotaan; (2) perlu perubahan perilaku rumah tangga untuk mengolah sanitasinya; serta (3) perlu menggunakan mekanisme pendekatan yang terintegrasi antar sektor air minum dan sanitasi.
 
Diskusi panel kemudian dibuka dengan cerita sukses dari Tri Dewi Virgiyanti yang telah berhasil melakukan kampanye sanitasi aman. Menurut Virgi, banyak masyarakat yang kurang menghargai sektor sanitasi karena hasil buangan air limbah domestik tidak dapat terlihat langsung. Hal ini perlu diubah, karena kenyataannya, 70% rumah tangga di Indonesia menggunakan air minum yang sudah terkontaminasi oleh bakteri E.Colli.
 
Salah satu praktik baik yang bisa membantu meningkatkan kesadaran masyarakat ialah melalui kampanye publik. Sebagai contoh, Virgi menjelaskan kampanye #CekidotSquad yang dilakukan bersama mitra UNICEF telah berhasil menarik 250.000 penonton dan 400.000 pengunjung di website Cekidot.org. Selain menggandeng UNICEF, Indonesia juga pernah melakukan kampanye publik bertajuk Tetangga Panutan bersama mitra IUWASH Plus-USAID yang telah diikuti oleh 151 desa dan kelurahan di Indonesia.
 
Hasil baik dari kampanye ini, tentunya tidak lepas dari tantangan komunikasi yang ada, “Salah satu tantangan utamanya adalah pilihan redaksi yang digunakan, seperti penggunaan beberapa kata yang mungkin terdengar kasar, namun dapat menarik perhatian generasi yang lebih muda, sehingga kampanye ini bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas,” jelas Virgi.
 
Berbeda halnya dengan Indonesia, Bangladesh yang diwakili oleh Prof. Kazi Matin Ahmed dari University of Dhaka menceritakan bahwa Bangladesh memiliki tantangan tersendiri dalam menyediakan sanitasi yang layak. Salah satunya ialah peningkatan populasi sebanyak 3% per tahunnya, dengan total 20% dari populasi masih tinggal di area kumuh yang tidak mendapatkan akses air minum dan sanitasi yang layak. Selain itu, Bangladesh juga menghasilkan 2 juta m3 air limbah per harinya, dan hanya 25% yang dapat dikelola, sehingga kebanyakan air limbah mengalir dan mencemari badan air.
 
Menanggapi hal ini, Bangladesh sudah melakukan berbagai upaya pengelolaan, salah satunya ialah melalui penyusunan 3 master plan terkait pengelolaan saluran drainase dan juga pemulihan sungai Dhaka sebagai salah satu sumber air baku di Bangladesh. Terkait ini, Kazi menjelaskan bahwa ke depannya diperlukan koordinasi yang kuat antar pemangku kepentingan, serta investasi yang cukup besar, agar strategi ini dapat berjalan.
 
Cerita menarik lainnya juga datang dari perwakilan World Health Organization, Justine Haag di Geneva yang memaparkan korelasi pengelolaan sanitasi dengan kasus penyakit kolera di dunia. Tercatat bahwa pada tahun 2017 terdapat 1,2 juta kasus kolera, dimana angka ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 1989, “Walaupun fatality rate dari kasus kolera menurun, namun kita juga harus tetap memperhatikan angka penyebarannya yang cukup tinggi. Kolera sendiri dibawa oleh bakteri vibrio kolera yang menyebabkan pengidapnya mengalami diare akut dan dehidrasi. Bakteri penyebab kolera ini dapat menyebar dengan mudah pada lingkungan yang memiliki sanitasi buruk,” jelasnya.
 
Terkait ini Justine memiliki target untuk mengeliminasi angka kolera di 23 negara, dan menurunkan 90% fatality rate sesuai dengan yang dimandatkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, “Terkait upaya ini, Global Task Force for Cholera Control yang dipimpin oleh WHO telah mengembangkan platform yang didukung oleh lebih dari 50 partner WASH. Kami mengharapkan agar negara-negara dapat menyusun National Cholera Control Plans untuk mengendalikan penyakit. Dokumen ini terdiri dari 6 pilar, dimana pilar pertama dan terutama ialah peningkatan akses air minum, sanitasi dan kebersihan,” jelas Justine.
 
Melanjutkan apa yang disampaikan oleh narasumber sebelumnya, Cristy Karden dari University of Cape Town berbagi cerita pengalamannya di South Africa. Cristy sepaham bahwa urusan sanitasi seharusnya menjadi prioritas nasional. Hal ini sudah tertuang dalam berbagai kebijakan pemerintah di South Africa. Namun, menurut Cristy kebijakan-kebijakan yang sudah ada ini sulit diimplementasi di lapangan, hal ini dikarenakan kurangnya kemauan politik dari instansi yang mengampu sektor ini, “Kemauan politik menjadi penting, khususnya dalam memprioritaskan sektor sanitasi, serta untuk mengintegrasikannya dengan sektor air minum,” jelas Cristy.
 
Sesi kemudian dilanjutkan dan diakhiri dengan diskusi antara narasumber serta tanya jawab dari peserta. Seluruh narasumber sepakat bahwa isu sanitasi seharusnya menjadi prioritas sama seperti sektor air minum, karena dalam penerapannya, kedua sektor akan saling berkorelasi sehingga peningkatan akses air minum juga perlu dibarengi dengan peningkatan akses sanitasi.