Resensi : Potret Pembangunan AMPL di Indonesia, Belajar dari Pengalaman: Cerita Pembangunan AMPL dari Kabupaten Bangka, Kabupaten Sumedang, dan Kota Malang.


Potret Pembangunan AMPL di Indonesia, Belajar dari Pengalaman: Cerita Pembangunan AMPL  dari Kabupaten Bangka, Kabupaten Sumedang, dan Kota Malang.
Dini Haryati, Fadly Suhendra (penyusun)
Jakarta: Pokja AMPL, 2011
vi, 30 hal + foto; 15 cm.

Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan/sanitasi (AMPL) di Indonesia adalah tercapainya target Pembangunan Milenium (MDGs) pada tahun 2015.  Di mana sebanyak 68,87% penduduk Indonesia harus memiliki akses terhadap sumber air minum layak dan 62,41% penduduk memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi dasar yang layak.

Untuk mencapai sasaran tersebut  berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, diantaranya melalui pendekatan berbasis masyarakat dan berbasis kelembagaan serta pembelajaran yang dapat dipetik  dari beberapa daerah yang berhasil dalam pembangunan penyediaan air minum dan sarana/prasarana sanitasi.

Pembelajaran dari daerah yang berhasil menyediakan air minum dan sanitasi ini dikemas secara apik dalam buku yang menjadi pelengkap dokumen di Konferensi Sanitasi dan Air minum 2011.  Adapun daerah yang dapat dijadikan pembelajaran dalam pembangunan AMPL oleh daerah lainnya adalah Kabupaten Bangka tepatnya di Sumur Batu Desa Puding Besar, warga  berdatangan ke sumur batu dengan membawa ember, jerigen dan botol untuk mengangkut air minum ke rumahnya masing masing dengan menggunakan motor berkeranjang, gerobak doronng dan sepeda.  

Agar  kebersihan sumur yang tidak pernah kering ini tetap terjaga, maka masyarakat yang mengambil air diwajibkan menggunakan gayung. Untuk keperluan mandi dan cuci, selain di sumur batu, masyarakat terbiasa menggunakan kolong (sejenis danau kecil) bekas penambangan PT Timah.

Tahun 2004-2005, Desa Sukawening Kabupaten Sumedang terbilang sangat menyedihkan pasalnya warga desa masih buang air besar sembarangan di kebun dan saluran air yang berakibat berjangkitnya penyakit berbasis lingkungan.  Keadaaan ini mulai berubah di tahun 2008, di mana pemerintah mulai melaksanakan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) untuk memobilisasi dan memberdayakan masyarakat agar hidup bersih dan sehat.

Secara perlahan tapi pasti perubahan perilaku masyarakat mulai terlihat, dampaknya adalah masyarakat sudah tidak lagi melakukan buang air besar sembarangan dan mereka membangun fasilitas sanitasi dirumahnya sendiri dan mereka pun menyadari pentingnya air bersih.

Berbeda dengan kedua daerah diatas, di Malang air bersih sudah dapat dinikmati oleh seluruh warga.  Warga yang tidak terjangkau saluran air dari PDAM dapat memanfaatkan potensi air yang ada di daerahnya masing-masing.  Hal ini terlihat di Kelurahan Arjowinangun Kedungkandang, masyarakat bergotong royong membangun sebuah menara air untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang  dipompa dari sungai bawah tanah. Selain itu warga Malang sudah dapat menetralisir limbah, sehingga tidak mencemari air sungai dan dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik.(Eka Subiyanti).