Kolaborasi Pendanaan Program HAL & sAIIG Bantu Pemerintah Capai Target Akses Sanitasi

Sebagai langkah menuju pencapaian 90% sanitasi layak yang termasuk didalamnya 15% sanitasi aman sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024, pemerintah terus mengupayakan berbagai kolaborasi pendanaan untuk percepatan pembangunan akses sanitasi. Salah satu bentuk kolaborasi efektif yang telah dilakukan pemerintah ialah melalui program sAIIG (Australia-Indonesia Infrastructure Grants for Sanitation) untuk pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD) serta program HAL (Hibah Air Limbah) untuk pembangunan Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik (SPALD).
 
Menjelang berakhirnya program sAIIG pada Desember 2021 dan HAL pada bulan Juni 2022, telah didokumentasikan sejumlah capaian terkait pemenuhan akses terhadap sanitasi. Manfaat dari program sAIIG telah dirasakan di 66 Kab/Kota dengan total 35.000 sambungan rumah (SR). Sementara program HAL telah diimplementasikan di 6 Kab/Kota dengan total 17.000 SR. Fakta tersebut disampaikan pada rapat koordinasi antar K/L secara daring yang diinisiasi oleh Kementerian PPN/Bappenas, Rabu (27/10/21)
 
Rapat ini sendiri membahas dan mempertajam konsep awal pengarustamaan program hibah HAL dan sAIIG ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta mendapat masukan untuk pemetaan peran serta kewenangan masing masing K/L dalam timeline pelaksanaan program tahap selanjutnya. Rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kementerian PPN/Bappenas ini turut dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Australia dan mitra KIAT.
 
Koordinator Lintas Bidang Air Minum dan Sanitasi, Kementerian PPN/Bappenas, Nur Aisyah Nasution menyampaikan status realisasi dari masing- masing program, di mana program sAIIG telah mencapai 31% realisasi dan HAL mencapai 68% realisasi dari total nilai kegiatan yang tertera pada Surat Penetapan Penerima Hibah (SPPH). Persentase ini dipengaruhi oleh beberapa isu yang ditemukan pada saat implementasi program.
 
“Salah satu kendala ialah pada minat masyarakat yang masih lemah dan bersifat ambivalen, serta masih kurangnya  komitmen dan minat pemerintah daerah. Terkait ini maka perlu dilakukan peningkatan kapasitas pemda pada aspek teknis seperti DED, konstruksi dan O&M untuk keberlangsungan program” ujar Aisyah.
 
Sepaham dengan yang disampaikan oleh Aisyah, Lead Advisor Water & Sanitation for DGHS, KIAT, Lutz Kleeberg, juga mempertegas bahwa program hibah sanitasi ini sebenarnya sangat bermanfaat bagi pemerintah daerah dan masyarakat.
 
“Program ini memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan layanan IPALD dan SPALD yang lebih baik lagi bagi masyarakat, Selain itu, pemda juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk memperbaiki kondisi lingkungan di daerah mereka” jelas Lutz.
 
Aisyah dan Lutz selanjutnya memaparkan usulan timeline keberlanjutan program, rencana serta pemetaan tugas pokok dan fungsi dari masing masing K/L terkait. Paparan ini mendapat tanggapan dan masukan dari peserta perwakilan K/L yang hadir dalam rapat.
 
Perwakilan CPMU Hibah Sanitasi, Direktorat Sanitasi, Kementerian PUPR, Mahardiani memberi masukan terkait mekanisme penganggaran program selanjutnya “perlu ditinjau kembali untuk timeline yang diusulkan, karena jika menggunakan mekanisme APBN maka harus diselesaikan dalam 1 tahun anggaran, harus dilihat apakah ini memungkinkan atau tidak. Selain itu, perlu dimaksimalkan juga peran dari masing masing K/L yang ada” jelasnya.
 
Melanjutkan yang disampaikan oleh Mahardiani terkait penganggaran, perwakilan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Annas Fikry menyampaikan bahwa Kemenkeu perlu menganalisa terlebih dahulu hasil evaluasi dan praktik baik dari implementasi program sebelumnya, serta bentuk desain program selanjutnya sebagai bahan  pertimbangan untuk memasukan kedua program ini dalam APBN.
 
“Perlu dilihat kembali apa pembeda program HAL dan sAIIG dari program program- program lain, sehingga harus diutamakan dalam APBN, serta bagaimana potensi sinkronisasi dengan pendanaan program lainnya. Selain itu juga perlu dilihat kesiapan dari pemerintah daerah, karena mereka harus menyiapkan pre-financing terlebih dahulu. Terkadang dana dari pemerintah pusat sudah siap, namun terkendala mekanisme pemerintah daerah, sehingga membutuhkan jangka waktu yang lebih panjang” ujar Annas.
 
Terkait keberlanjutan program, Analis Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Direktorat SUPD II Kementerian Dalam Negeri, Ahmad Izzuddin, mengusulkan untuk menyusun komitmenn atau kesepakatan  bersama pemerintah daerah untuk perencanaan program hibah sanitasi. Hal ini Ahmad sampaikan karena rata rata perencanaan dan penganggaran di daerah tidak memprioritaskan air minum dan sanitasi yang sebenarnya juga masuk sebagai pelayanan dasar bagi masyarakat.
 
Pejabat Fungsional, Sanitarian Ahli Muda, Kementerian Kesehatan, Any Adelina Hutahuruk menyampaikan, beberapa masukan tentang peran kementerian yang lebih komprehensif, serta potensi kolaborasi dengan program unggulan yang dimiliki oleh Kemenkes, yaitu Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), khususnya di pilar 1 dan pilar 5 yang menitikberatkan pada lokus lokus stunting.
 
Sesi diskusi kemudian dilanjutkan dengan pembahasan lebih mendalam terkait persiapan teknis serta identifikasi potensi keterlibatan K/L lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam proses monitoring dan evaluasi. Diharapkan rapat koordinasi ini dapat memperkuat keterpaduan antar K/L yang menjadi pengampu program hibah sanitasi, sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan manfaat program yang dapat dirasakan oleh masyrakat yang lebih luas.