Mengoptimalkan Media Sosial untuk Mendukung Target Perumahan dan Kawasan Permukiman

          Ngelantur, Mei 2021 - Sebagai salah satu upaya meningkatkan akses ke rumah layak huni, pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), stakeholder terkait dan warga masyarakat mendukung pencapaian target 70% rumah layak huni di tahun 2024. Isu perumahan cukup mendapat perhatian publik atau paling populer dari hasil kajian pengamat media, dibanding isu permukiman, air minum dan sanitasi (Rakornas PPAS,2020). Kesesuaian persepsi dengan isu-isu strategis yang diharapkan perlu dikaji lebih lanjut. Sehingga dengan demikian bisa dilihat titik temu untuk menyatukan persepsi yang ada di publik dan isu sektor yang menjadi target yang diharapkan. Media sosial diyakini menjadi salah satu kanal yang potensial untuk mengintervensi persepsi antara pemangku kepentingan dan publik.

          Untuk itu, Direktorat Perkotaan,Perumahan,dan Permukiman Bappenas melalui CCMU/Pokja PPAS melaksanakan kegiatan Diskusi Pelaku Jejaring Sosial bertema “Mengoptimalkan Media Sosial untuk Mendukung Target Perumahan dan Kawasan Permukiman”, pada Jum’at 30 April 2021 di hotel Morissey dan ditayangkan secara on line dalam program Ngelantur. Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber yang ahli dalam analisis sosial media yaitu Ismail Fahmi Ph.D selaku Direktur Utama PT. Kernels Media Indonesia yang juga merupakan founder Drone Emprit (sistem yang memonitor serta menganalisa media sosial dan platform online yang berbasis big data) serta Hari Ambari selaku Direktur Astramaya (perusahaan startup yang focus pada analisis data berdasarkan percakapan dan berita di media massa menggunakan software Kernels Media). Kegiatan ini diselenggarakan secara Hybrid yang juga ditayangkan dalam program Ngelantur dan dimoderasi oleh Wiwit Heris, Communication Specialist CCMU Bappenas. Diikuti oleh peserta offline sekitar 20 orang dan peserta zoom online berjumlah sekitar 53 orang yang berasal dari Kementerian, Kotaku, World Bank, Pengelola Media REI, ROEMAH KITA TV, HUD, TAPP Provinsi, NGO, Tim Nawasis, ahli komunikasi dan pemerhati serta penggiat sektor terkait.

          Kasubdit Perumahan, Nurul W. Mujahid memberikan sambutannya dan mengatakan ada 2 (dua) isu yang menarik untuk jadi topik bahasan pada acara tersebut yaitu perumahan sebagian besar disediakan oleh swadaya masyarakat serta tercapainya target pemerintah agar masyarakat bisa menempati hunian layak yang saat ini masih bertengger di angka 59%. Nurul W. Mujahid juga menambahkan jejaring sosial dirasa menjadi salah satu kanal yang potensial untuk melakukan kampanye yang lebih massive dan mampu mengintervensi persepsi publik. Ada pertanyaan yang menggelitik dari Kasubdit Perumahan, Nurul W. Mujahid tentang apa yang dibicarakan masyarakat, pemerintah, non pemerintah mengenai perumahan? Serta bagaimana melakukan upaya percepatan dari dua isu yang disebutkan oleh Nurul W. Mujahid dengan kekuatan komunikasi publik di sektor perumahan dan kawasan permukiman ? Analisis dari Ismail Fahmi pun menjadi jawaban dari pertanyaan tersebut.

          Menurut Ismail Fahmi, kini Twitter dan Tiktok adalah dua platform media sosial yang banyak digandrungi oleh kalangan millenial, dimana posisi Twitter masih menjadi populer dengan peningkatan sebanyak 63,6% di tahun 2021 dari angka 27% pada tahun 2018. Namun, cuitan di Twitter lebih banyak mengangkat atau merespon masalah dibanding membangun mindset positif tentang isu perumahan. 4 dari 6 top tweet mengenai perumahan di platform twitter didominasi oleh Malaysia, top influencers perumahan juga didominasi oleh Malaysia yang artinya Malaysia lebih aktif membahas topik perumahan di Twitter dibanding Indonesia. Cuitan di twitter Indonesia lebih banyak mengangkat atau merespon masalah, bukan membahas dan membentuk topik positif yang bisa membentuk mindset.

          Sementara menurut Hari Ambari, butuh tahap implementasi yang di dalamnya terdapat proses promosi yang merupakan pembuatan konten lalu disebarkan. Di dalam implementasi, terdapat juga fortifikasi dan kontra narasi yang lebih sulit dipersiapkan karena kita harus menyiapkan dokumen mitigatif. Lalu, yang menjadi cakupan operasi digital tidak hanya akun resmi organisasi tapi ada juga public face, yaitu orang yang menjadi representasi di organisasi tersebut (pejabat atau orang kunci di organisasi tersebut).

          “Ada dua hal kunci yang kita hadapi saat berbicara mengenai PPAS, yaitu pertama kolonial saja tidak paham pentingnya topik ini sehingga akan sulit untuk menyampaikan pesan ini ke millenial. Sehingga penting untuk memikirkan langkah seperti apa yang perlu dilakukan oleh para kolonial, karena kolonial adalah pengambil keputusan. Kedua kita punya tugas dan target yang besar, tapi saat ini masing-masing pihak yang terlibat masih bekerja sendiri-sendiri. Bagaimana cara meningkatkan tahapan dari sama-sama bekerja menjadi kerja bersama-sama ?”, tukas Oswar Mungkasa dari ROEMAH KITA TV dan aktivis Jejaring , melalui zoom. “Kolonial tidak terlalu concern dengan masalah PPAS apalagi media sosial. Sehingga perlu juga diperhatikan bagaimana penggunaan media sosial tepat sampai ke kalangan kolonial yang notabene termasuk para pengambil keputusan ” jawab Ismail Fahmi menanggapi komentar Oswar Mungkasa.

          Menurut Arnold dari HUD Institute, sosial media merupakan intermediary, bukan advocacy. Ketika perbincangan suatu isu di media sosial hanya berdasar pemikiran sporadik, maka hasil atau manfaatnya juga minimum atau sering disebut Garbage In Garbage Out (GIGO). Arnold menambahkan perubahan behaviour bukan melalui sosial media namun lebih kepada nudge strategy.

          “Isu PKP ini belum begitu dianggap penting dibanding isu-isu lain. Setuju dengan analisis Pak Fahmi bahwa isu PKP terpopuler adalah mengenai kebijakan. Setuju juga dengan garbage in garbage out bahwa jika berbicara di media sosial tidak berdasar informasi yang dimuat di media mainstream, maka isu tersebut tidak akan memberi dampak positif,” cetus Oki dari pengelola industriproperty.com (REI).

          Menurut Ismail Fahmi, memang tidak semua yang ada di sosial media merupakan fakta atau data yang sebenarnya, bahkan propaganda, hoax, dan sebagainya banyak ditemui dewasa ini. “Namun isu kita disini adalah kita ingin mengadvokasi atau menyebarkan semangat SDGs atau PPAS. Sehingga bukan mengambil fakta dari media sosial tetapi kita yang menginvasi media sosial,” jelas Ismail Fahmi.

          Media sosial bisa menjadi kanal agar bisa menginfiltrasi gagasan ke pemikiran banyak orang, contohnya pembuatan simulakra yang merupakan suatu fakta yang tidak ada tapi dibuat sampai banyak orang percaya bahwa hal itu adalah fakta. Dan isu perumahan berpeluang untuk itu, siapa tidak butuh rumah?

          Topik strategis belum ada di media sosial, sehingga menjadi tugas kedepannya. Media sosial ini merupakan tempat pembelajaran. “Dengan knowledge yang kita punya kita bisa sharing di media sosial dan yang paling gampang ditangkap oleh masyarakat adalah dengan memberi contoh yang berbeda. Agar bisa mendapat audiens yang lebih luas, kita bisa masuk ke topik yang sedang hangat dibicarakan, ditambah dengan knowledge yang kita miliki supaya masyarakat tertarik,” tambah Ismail Fahmi.

          Begitu banyak topik penting terkait perumahan yang belum banyak di bicarakan di media sosial. Topik ini seharusnya diinisiasi oleh pemerintah dan harus diupayakan agar masyarakat tertarik untuk berkonstribusi membahas topik perumahan ini. Maka, perlu dilakukan kampanye mindset agar masyarakat bisa aktif di platform media sosial manapun membahas topik ini semenarik mungkin, misalnya menggunakan sosok influencer sebagai bridging maupun dengan rekayasa dalam konteks menginflasi opini publik yang tepat tentang isu ini.

          Demikian diskusi terakhir diujung pertemuan, yang pada akhirnya membuahkan gagasan inisiasi kerja bersama untuk merancang strategi campaign sosmed untuk event co-memorial day terkait perumahan.
****