Pemerintah Kab. Banyuwangi Gertak Kolaborasi untuk Tingkatkan Aksi Pengelolaan Sampah!
Penulis
POKJA PPAS
POKJA PPAS
Tanggal Terbit
21 November 2022
21 November 2022
Organisasi & Jabatan
KOM POKJA PPAS
KOM POKJA PPAS
Website
Nawasis.org
Nawasis.org
Dilihat
822
822
Dalam rangka melakukan pembelajaran pengelolaan sistem persampahan di tingkat daerah, pemerintah pusat yang diwakili oleh Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Kesehatan dan mitra pembangunan USAID, UNICEF dan ISWM melakukan kunjungan ke Kabupaten Banyuwangi pada hari Rabu (19/10). Kunjungan ini bertujuan untuk melihat langsung upaya pengelolaan sampah yang telah dilakukan di Kabupaten Banyuwangi sampai saat ini.
Kegiatan kunjungan disambut baik oleh Sekretaris Bappeda Kab. Banyuwangi, Budi Wahono. Dalam sambutannya, Budi menceritakan bahwa destinasi pariwisata Kab. Banyuwangi memiliki keunggulan komparatif dibanding dari kab/kota lainnya, dimana hal ini perlu dijaga dan dilestarikan, “Hal paling penting dalam pengembangan pariwisata adalah agar lokasi itu bersih, dimana pengelolaan sampah yang baik menjadi komitmen kita bersama dengan para mitra-mitra lainnya,” pungkas Budi.
Dalam upaya menjaga kebersihan, Kab. Banyuwangi tentu tidak lepas dari tantangan dan kendala dari berbagai aspek. Terkait ini, Staf Bidang Persampahan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kab. Banyuwangi, Rahmania menceritakan bahwa Kabupaten Banyuwangi saat ini memerlukan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang baru, dimana TPA sementara yang digunakan saat ini sudah hampir penuh. Ditambah, TPS3R hanya berada di 19 titik, dan jika dibandingkan dengan luas Banyuwangi saat ini, maka akan cukup sulit untuk menjangkau seluruh masyarakat, “Saat ini Pemda sudah menyediakan lahan dan Detail Engineering Design (DED)-nya, namun masih berproses mengajukan permohonan bantuan pembangunan TPA kepada Kementerian PUPR,” jelasnya.
Terkait aspek penganggaran, Rahmania mengakui juga cukup sulit, karena rata-rata penganggaran untuk sektor persampahan hanya 1% dari total alokasi APBD Kabupaten Banyuwangi. Menurut Rahmania, agar lebih optimal diperlukan setidaknya 10% alokasi anggaran APBD untuk sistem persampahan.
Di lain sisi, Rahmania mengapresiasi kemitraan yang saat ini sudah diupayakan bersama dengan aktor- aktor lainnya, salah satunya ialah program Banyuwangi Hijau dari Systemiq yang telah berhasil membantu mengurangi sampah ke laut, serta kerja sama yang terjalin dengan mitra Sungai Watch, yang melakukan pemasangan barrier-barrier agar sampah di sungai tidak sampai ke laut.
“Selain program Systemiq dan Sungai Watch, saat ini juga sudah ada program edukasi Sekolah Rawat Aliran Sungai, yang menargetkan agar anak-anak belajar untuk melakukan pengurangan dan pencegahan sampah agar tidak dibuang ke sungai,” jelas Rahmania.
Melanjutkan diskusi, perwakilan USAID, Trigeany Linggoatmodjo, menanyakan terkait pembagian kewenangan untuk penanganan sampah antara pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten Banyuwangi menurut UU No 23 tahun 2014. Terkait ini, Kabid Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Perumahan & Permukiman (PUCKPP), Kab. Banyuwangi, Edi Purnomo menyampaikan bahwa kebersihan merupakan tanggung jawab bersama tidak hanya berfokus pada pembagian tanggung jawab antar wilayah, “Kebersihan bukan hanya sekedar kewenangan antar wilayah, namun kewajiban kita bersama. Sehingga perlu bersinergi dari hulu dan hilir, dengan melibatkan seluruh pihak,” jelasnya.
Menyoal terkait tantangan, Direktur Program Banyuwangi Hijau, Systemiq, Andre menyatakan bahwa tantangan terberat yang sempat ia hadapi ialah bagaimana mengajak pemerintah desa agar ikut terlibat. Hal ini dapat terjadi, karena indikator kinerja baik pemerintah desa belum terukur dari capaian penanganan sampah di wilayahnya. Untuk menanggulangi hal ini, Andre terus berupaya meningkatkan pemahaman pemerintah desa tentang pengelolaan sampah. Salah satu caranya adalah dengan membuat sistem pengelolaan sampah yang dapat menjadi sumber perekonomian baru bagi desa tersebut, “Cara ini pada akhirnya berhasil, karena banyak kepala desa yang akhirnya terpicu untuk mengelola sampahnya sendiri,” jelas Andre.
Cerita Menarik dari Desa Tembok Rejo
Kunjungan kemudian dilanjutkan ke Desa Tembok Rejo, Kecamatan Muncar untuk melihat sistem TPS3R Bio Mandiri Lestari yang telah dibangun. Kepala Desa Tembok Rejo, Andi menceritakan bahwa penduduk di desa Tembok Rejo memiliki etnis campuran, dengan mayoritas ialah etnis Madura. Aspek sosial ini tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam melakukan edukasi terkait persampahan, karena memerlukan beberapa pendekatan berbeda kepada masyarakat. Namun di sisi lain, Andi juga mengapresiasi kolaborasi yang sudah terjalin untuk meningkatkan sistem pengelolaan sampah di desanya,
Menceritakan gambaran umum mengenai sistem pengelolaan sampah di Desa Tembok Rejo, Perwakilan Pengelola TPS3R Bio Mandiri Lestari, Nungky Rovalina atau yang kerap disapa Kiky menyampaikan bahwa saat ini, dari 10- 20 ton sampah yang masuk ke TPS3R perharinya ternyata belum sepenuhnya terpilah. Hal ini dikarenakan penduduk merasa pemilahan sampah tidak perlu dilakukan, karena sudah membayar iuran.
Lebih lanjut, Kiky menjelaskan bahwa dengan tidak terpilihnya sampah berimbas pada mutu pupuk yang saat ini dihasilkan oleh TPS3R, dimana kandungan plastik yang ada masih cukup tinggi. Selain itu, sampah yang tidak terpilah juga pada akhirnya terpaksa diangkut ke TPA, “Karena sampahnya tidak terpilah, jadi kami angkut ke TPA, yang seharusnya hanya sampah residu saja yang masuk kesana. Kondisi ini juga menimbulkan isu lain, dimana moda transportasi untuk pengangkutan ke TPA juga terbatas, sehingga kami cukup kesulitan” jelas Kiky.
Tantangan lainnya yang dihadapi oleh Kiky ialah total iuran yang sebenarnya baru mencapai 70% dari seluruh masyarakat desa Tembok Rejo. Walaupun pemasukan TPS3R perbulannya mencapai angka 20 sampai 30 juta rupiah, namun, pembayaran iuran tetap perlu dilakukan seluruh masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab akan sampah yang dihasilkan setiap harinya. Terkait pengumpulan iuran, Kiki merasa dirinya sangat terbantu melalui kolaborasi dengan pemerintah desa yang ikut mengawasi proses di lapangan.
“Bagi masyarakat yang belum membayar iuran, tim pengelola TPS3R terus mengedukasi dan mendorong tingkat kesadaran mereka. Tentunya, dibantu oleh pemerintah desa melalui RT/RW. Penarikan iuran di lapangan dilakukan oleh tim TPS3R, namun tetap diawasi oleh pemerintah desa,” jelas Kiki.
Guna menjawab tantangan – tantangan yang ada di desa Tembok Rejo, tentunya diperlukan edukasi terus menerus kepada masyarakat, serta secara bersamaan melakukan peningkatan sistem pengelolaan sampah melalui kolaborasi mitra yang ada di desa Tembok Rejo.