Pemerintah Kalsel Siap Berbenah untuk Berikan Layanan Air Minum dan Sanitasi yang Lebih Baik Bagi Masyarakat

Dikutip dari data Susenas KOR tahun 2021 yang diolah Bappenas, Kalimantan Selatan saat ini baru mencapai 2,84% akses sanitasi aman, dengan 1,18% masyarakat yang masih melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di tempat terbuka. Hal ini tentunya menjadi sumber pencemaran di aliran sungai yang secara tak langsung berimplikasi pada tingginya angka stunting di Kalimantan Selatan yang mencapai 30%, atau setara dengan 3 dari 10 anak. Kurangnya pemahaman terkait pembangunan tangki septik yang tidak sesuai standar, juga menjadi salah satu penyebab utama terciptanya kondisi ini.
 
Berangkat dari hal tersebut, pemerintah Kalimantan Selatan terus berbenah memperbaiki layanan air minum dan sanitasi, salah satunya melalui pelaksanaan kegiatan Sosialisasi Pembangunan dan Peningkatan Tangki Septik di Bantaran Sungai dalam Rangka Rencana Pengamanan Air Minum (RPAM) Kab/Kota Se-Provinsi Kalimantan Selatan pada hari Rabu (09/11) secara hybrid. Dalam salah satu sesi diskusi bersama seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, Pemerintah Kalimantan Selatan turut mengundang Bappenas yang diwakili oleh Koordinator Bidang Air Minum dan Sanitasi Direktorat Perumahan dan Kawasan Permukiman, Nur Aisyah Nasution untuk menjelaskan mengenai RPAM dan strategi dalam menjawab tantangan permasalahan air minum dan sanitasi aman di Kalsel.
 
Membuka diskusi awal, moderator sesi, Ismail, sempat menyoal terkait kondisi air minum dan sanitasi di Kalimantan Selatan, “Sumber air baku kami saat ini cukup terbatas, ditambah dengan pencemaran akibat tangki septik yang tidak dibangun sesuai standar. Padahal di dalam Jakstrada sudah ada kebijakan yang menyatakan bahwa sungai sebagai objek vital daerah. Sehingga saya berharap hal ini dapat menjadi payung hukum, dimana operator tidak hanya mengambil, tapi juga dapat mengelola sumber air baku dengan lebih aman,” ungkapnya.
 
Menanggapi yang disampaikan oleh Ismail, Aisyah kemudian memaparkan komitmen Pemerintah Indonesia yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yaitu 100% akses air minum layak dan 90% akses sanitasi layak, termasuk 15% akses air minum dan sanitasi aman di dalamnya. Menurut Aisyah, target ini perlu diupayakan tidak hanya dari pemerintah pusat, melainkan dari seluruh pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya seperti BUMD/Perumda Air Minum. Pasalnya, saat ini capaian negara Indonesia masih jauh tertinggal dari negara- negara tetangga lainnya, “Seperti di Myanmar, capaian air minum amannya sudah 59%, dan sanitasi aman sudah 61%, dibanding dengan Indonesia, capaian akses air minum aman kita masih 11,8% dan sanitasi aman 7,25%,” jelasnya.
 
Selanjutnya, Aisyah juga kembali menekankan bahwa pembangunan akses air minum dan sanitasi juga perlu menjadi satu kesatuan. Jika tidak, hal ini dapat menyebabkan cross contamination, dimana akan berimplikasi pada tingginya biaya yang akan dialokasikan oleh pemerintah daerah untuk mengelola sumber air baku yang tercemar. Selain itu, implikasi pada kesehatan masyarakat  juga tak kalah pentingnya. Menurut Aisyah, hal ini perlu dibenahi segera, apalagi saat ini dunia tengah dihadapkan dengan tantangan perubahan iklim yang juga berdampak besar pada akses yang sudah dibangun untuk masyarakat.
 
Menjawab tantangan yang ada, Aisyah kemudian mensosialisasikan konsep RPAM yang menurutnya perlu secara serentak dimasukan sebagai rencana bisnis seluruh PDAM di Kalimantan Selatan, “RPAM sendiri merupakan alat dalam mengelola pengamanan air minum berbasis risiko dengan pendekatan dari hulu sampai ke hilir. Di dalam RPAM terdapat 11 modul yang perlu disusun oleh PDAM. Dokumen ini harus dimutakhirkan secara rutin oleh PDAM. Di samping itu, secara bersamaan, pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan juga perlu melakukan audit dan Pengamanan Kualitas Air Minum (PKAM) secara berkala,” pungkasnya.
 
Aisyah kemudian kembali menegaskan bahwa RPAM bukan merupakan tambahan kegiatan, namun sebagai bagian dari tanggung jawab PDAM dan pemerintah daerah untuk menyediakan akses air minum yang aman bagi masyarakat. Di samping itu, RPAM juga merupakan salah satu komponen utama untuk mewujudkan Zona Air Minum Prima (ZAMP) yang sudah menjadi target pemerintah.
 
Menyoal terkait sanitasi, Aisyah mengharapkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dapat menerapkan konsep Citywide Inclusive Sanitation (CWIS) yang bertujuan untuk memberikan akses pengelolaan air limbah domestik (ALD) yang aman, inklusif, dan terpadu dari tingkat rumah tangga sampai di tingkat perkotaan, “Jika saat ini masyarakat masih menggunakan tangki septik sendiri, pastikan sudah terbangun sesuai standar dan rutin disedot setiap 3-5 tahun sekali. Jika tidak, dapat dibangun Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALD-T),” jelas Aisyah. SPALD-T sendiri merupakan sistem yang dibangun untuk mengalirkan air limbah domestik dari sumber secara kolektif ke sub-sistem pengelolaan terpusat untuk diolah sebelum kemudian dibuang ke badan air permukaan.
 
Di samping penjelasan konsep RPAM dan CWIS, Aisyah juga berpesan bahwa pemerintah daerah perlu menyediakan pengawas bangunan yang bertugas untuk mengawasi pembangunan sarana air minum dan sanitasi di dalam rumah agar sesuai dengan pembangunan perpipaan dan sistem pengelolaan ALD. Selain itu, diperlukan juga pemisahan tugas operator dan regulator di daerah, di mana untuk regulator untuk memantau air minum menjadi tugas Dinas Kesehatan, regulator yang memantau air limbah domestik yaitu Dinas Lingkungan Hidup, dan untuk regulator penyedia layanan menjadi tugas dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
 
Menutup akhir paparannya, Aisyah menyimpulkan bahwa kolaborasi dan komitmen seluruh pihak untuk mewujudkan air minum dan sanitasi aman merupakan modal utama untuk meningkatkan layanan dan akses yang aman bagi masyarakat.