Penurunan Lahan, Fakta Konkrit Kebutuhan Pengelolaan Air Perkotaan Terpadu

Pada sesi kunjungan lapangan di Jakarta, peserta workshop diajak berkunjung ke beberapa titik, diantaranya Stasiun Pemantauan Penurunan Lahan di daerah Cengkareng, mengunjungi Waduk Pluit dan terakhir berkunjung ke lokasi Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) DKI Jakarta.

Ada satu hal menarik yang ditemui pada kunjungan lapangan yaitu fakta nyata dari terjadinya penurunan lahan di Kota Jakarta. Pada kunjungan lapangan itu, dikatakan bahwa Jakarta mengalami penurunan hingga 10 cm setiap tahunnya yang kini telah terjadi di Kawasan Jakarta Utara.

Perwakilan dari Kementerian PUPR mengatakan, salah satu penyebab terjadinya hal tersebut ialah tingginya penggunanaan air tanah, terutama di daerah sekitar Waduk Pluit. Seperti diketahui, bukan hanya dipenuhi oleh permukiman padat penduduk, namun kawasan itu juga dipadati oleh pabrik, seperti pabrik perikanan.

Fakta konkrit dari penurunan lahan ialah terjadinya kerusakan tanggul Waduk Pluit pada 2017 lalu, akibatnya air meluap dan membanjiri permukiman warga yang ada tepat dibawahnya. Sebagai upaya pencegahan, pemerintah pun telah membangun tanggul baru di Teluk Jakarta.

Kendati demikian, upaya yang dilakukan semestinya tak hanya sebatas itu saja. Pemerintah juga perlu memberikan pemahaman kepada semua pihak terkait, termasuk masyarakat akan bahaya penggunaan air tanah secara masif dan tidak terkontrol.

Pada kesempatan lain, Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa kondisi itu harus dicegah. Salah satu caranya ialah masyarakat harus memiliki alternatif sumber air bersih yang dibangun Pemda atau PDAM.

Sementara itu, pada sesi "Berbagi Pengalaman Menghadapi Tantangan Air Perkotaan"�, Addressing Subsidence dari Tokyo, Profesor Morita menerangkan bahwa Tokyo dulu pernah mengalami penurunan lahan yang sangat mengkhawatirkan, angka kumulatifnya hingga mencapai 4 meter.

Penyebab utamanya ialah penggunaan air tanah yang berlebihan karena Tokyo merupakan kawasan industri. Morita menceritakan, penurunan lahan yang terjadi menyebabkan banjir air laut (Rob) dan mulai sejak itu pemerintah mulai penyusun peraturan perundangan untuk membatasi penggunaan air tanah.

Melalui peraturan ini, Tokyo melarang penggunaan pompa yang tidak sesuai standart dan pihaknya juga mulai memperkenalkan cara daur ulang air ke semua pihak, terutama kepada industri.

Hampir sama dengan Tokyo, Singapura juga membuat peraturan untuk membatasi penggunaan air tanah yang berlebihan. Apalagi, Singapura hanya memiliki sedikit sumber air.

Peraturan yang dibuat diantaranya ialah melakukan pengelolaan lahan resapan air, melakukan daur ulang air, inovasi pembaharuan air dengan mengubah air limbah menjadi air layak pakai, serta melakukan upaya desalinasi yaitu mengubah air asin menjadi air tawar.

"Melalui semua upaya yang dilakukan ini harapannya pada 2060 nanti Singapura bisa menjadi kota dan negara yang mandiri air, sehingga tidak perlu melakukan import air lagi seperti sekarang,"� terang Olivia Jensen dari National University of Singapore.

Bukan sekadar menjadi pembelajaran semata, semua pengalaman yang dipaparkan oleh para narasumber dalam Workshop IUWM ini harapannya bisa dijadikan inspirasi, sehingga kedepannya pengelolaan air di perkotaan semakin baik dan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat