Sebab Akibat Permukiman Kumuh di Sempadan Sungai

Ada Akibat Karena Sebab , kata-kata ini seolah mewakili satu permasalahan yang dewasa ini masih saja sulit untuk diatasi yaitu permukim kumuh yang masih terus bertumbuh di bantaran sungai. Kurangnya lahan dan melonjaknya harga lahan dianalisir menjadi penyebab terus bertumbuhnya permukiman kumuh di bantaran sungai. Dari 63.256 kelurahan di Indonesia yang berlokasi di tepi sungai, 26 % diantaranya memiliki permukiman di bantaran sungai. Pembangunan permukiman kumuh di bantaran sungai tak ayal telah menjadi tradisi turun-temurun.

Hal ini menjadi dilema tersendiri, berakar dari kemudahan akses pelayanan dasar seperti transportasi, air minum, mandi cuci kakus dan pembuangan limbah sampai pada motif ekonomi dan keterbatasan lahan, mendorong masyarakat memanfaatkan sebesar-besarnya potensi air dan sungai sebagai hunian mereka. Padahal wilayah tepi sungai merupakan suatu kawasan yang perlu mendapat perlindungan dari berbagai faktor yang dapat merusak ekosistemnya. Selain mengganggu keseimbangan dan mencemari lingkungan, permukiman kumuh di bantaran sungai juga mengancam faktor keselamatan, kenyamanan, dan kesehatan penghuninya. Rentan bencana, banjir, kebakaran, penumpukan sampah, kerawanan sosial serta wabah penyakit menjadi permasalahan yang tak kunjung usai.

Kontroversi ini menjadi hal yang menggelitik untuk diulik, maka CCMU POKJA PPAS Nasional melalui program NGE-LAN-TUR (Ngobrol Lentur Urusan Perumahan dan Permukiman) bersama Roemah Kita TV dan TV Desa berkolaborasi mengangkat isu ini pada Jum’at, 9 Juli 2021 dalam acara “Bincang Santuy Perkim : Bolehkah Membangun di Bantaran Sungai?”  yang tayang live di Facebook Kota Tanpa Kumuh, Youtube Channel Roemah Kita TV, dan TV Desa.

Acara diawali oleh sambutan dari Tri Dewi Virgiyanti selaku Direktur Perumahan dan Permukiman BAPPENAS yang juga merupakan Ketua Pokja PPAS. “60% dari jumlah penduduk perkotaan Indonesia hidup di perkotaan, namun lokasi lahan di perkotaan terbatas. Akhirnya masyarakat mencari lokasi yang paling mudah untuk diakses baik secara legal maupun illegal”, tukas Tri Dewi Virgiyanti pada acara Bincang Santuy Perkim.

Ungkapan Direktur Perumahan dan Permukiman BAPPENAS itu pun menjadi pemantik  diskusi yang akhirnya menimbulkan pertanyaan bolehkah membangun di bantaran sungai? pertanyaan ini disambut oleh dua narasumber dalam acara tersebut yaitu Mirwansyah Prawiranegara selaku Ditjen. Tata Ruang, Kementerian ATR/BPN dan Dicky Handrianto selaku Praktisi dan Dewan Penasehat Ikatan Ahli Perencana Jawa Barat.

Menurut Mirwansyah Prawiranegara dalam permasalahan ini, perlu mengetahui dulu kawasan tepian sungai mana yang dimaksud? bantaran sungai atau sempadan sungai. Bantaran sungai adalah ruang diantara tepian palung sungai dan bagian dalam dari tanggul. Maka, bolehkah membangun di bantaran sungai? jawabannya tentu tidak boleh karena bantaran sungai adalah ruang penyalur banjir. Jika berbicara sempadan, masih terdapat peluang dan beberapa syarat untuk membangun di sana. Terlebih paska diterbitkannya UU Cipta Kerja, di dalam PP No. 21/2021 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang bahwa dimungkinkan overlay zoning (satu atau beberapa zona yang mengacu kepada satu atau beberapa peraturan zonasi) dan adanya aturan khusus, salah satunya pengaturan zona sempadan sungai.

Bagai gayung bersambut Dicky Handrianto pun mengaminkan apa yang Mirwansyah Prawiranegara sampaikan. Menurut Dicky, membangun di bantaran sungai tidak boleh karena terkait dengan regulasi yang ada. Ada dua hal yang menjadi tantangan terberat pertama, bagaimana menyelesaikan permasalahan dengan regulasi? pastinya tetap mendukung pengamanan fungsi sungai dan tidak membenarkan sesuatu yang salah, terutama bangunan ilegal yang tidak memiliki nilai historis. Kedua, untuk menerapkan regulasi ada keterbatasan pendanaan dan lahan untuk relokasi di daerah. Maka, membuat regulasi yang bisa mengakomodir dua tantangan terberat tersebut adalah PR bagi semua pihak.

“Rumah-rumah di sempadan merupakan masalah yang banyak terjadi, namun sering diabaikan karena kekurangan sumber daya diantaranya manusia dan finansial. Banyaknya masalah seperti ini, Pemda melaksanakan kegiatan berdasarkan momentum. Yang gampang-gampang dulu kita selesaikan”, tambah Muhammad Luthfi Nugroho sebagai penanggap dari perwakilan Bappeda Kota Semarang.

Bincang Santuy Perkim yang di moderatori oleh Asri Inke ini berlangsung secara menarik dengan pengangkatan isu yang kontroversial. Terbukti dari melonjaknya jumlah viewers yang menyaksikan diskusi ini dengan jumlah hampir mencapai 2000 viewers dari Facebook Kota Tanpa Kumuh, Youtube Channel Roemah Kita TV, TV Desa, dan Zoom Video Conference.

Pengalaman inovasi yang dilakukan banyak pihak dapat menjadi alternative penataan dengan tetap mengikuti regulasi, melibatkan masyarakat tentunya menjadi kunci keberhasilan untuk penataan sempadan sungai. Masih ada peluang dalam memberikan kebijakan yang customize untuk masing-masing sempadan sungai. Maka, penataan sempadan sungai harus memberi impact economic value yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Tanpa adanya tujuan tersebut, penataan sempadan sungai akan sulit untuk dilaksanakan.