Ancaman Tinja Mengintai Kota

Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 mencatat, sebanyak 19,73% persen atau sekitar 7 juta rumah tangga yang tinggal di kawasan perkotaan tidak memiliki akses sanitasi layak dan masih melakukan praktek Buang Air Besar Sembarangan (BABS).

Data juga mencatat, baru 1 dari 10 rumah tangga di kawasan perkotaan yang mengelola air limbah mereka secara aman, baik itu dengan penyedoton rutin lumpur tinja atau telah terhubung dengan sistem perpipaan air limbah.

Data penelitian IUWASH Plus 2017 pun tak kalah mengejutkan. Sebanyak 74,4% masyarakat perkotaan diketahui tidak pernah menyedot tangki septik mereka dalam waktu 10 tahun terakhir dan 52% tangki septik di perkotaan terindikasi tidak aman dan sangat berpotensi mencemari lingkungan, terutama air tanah. Maka, tidak heran bila air tanah di kawasan perkotaan dikabarkan berbau dan terindikasi mengandung bakteri berbahaya, seperti e-coli yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, salah satunya diare.

Ancaman air limbah dan tinja ternyata tidak berhenti sampai disitu, fakta lain menunjukkan bahwa masih banyak rumah tangga di kawasan perkotaan yang tidak mengolah air limbah rumah tangga mereka dengan baik, lebih parahnya mereka tanpa ragu membuang air sisa cucian, dapur, dan kamar mandi langsung ke selokan.



Semua fakta ini tentunya bukan hal yang boleh diperlihara dan dibiarkan begitu saja. Bukan sekadar mencemari lingkungan, kondisi sanitasi buruk terbukti mengancam kesehatan.

Aldy Mardikanto dari Direktorat Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, Bappenas mengatakan, secara nasional kondisi pengelolaan air limbah kawasan perkotaan di Indonesia sudah cukup baik.

Akses sanitasi layak sudah mencapai 80,3%, artinya 8 dari 10 rumah tangga sudah mempunyai fasilitas sanitasi layak, hanya saja untuk fasilitas sanitasi ini masih ada beberapa masalah besar.

"Masih banyak rumah tangga yang belum mengelola air limbah dan tinja mereka dengan aman. Bahkan ada rumah tangga yang langsung membuang tinja mereka di lingkungan mereka sendiri"� kata Aldy.

Menurutnya, saat ini di Indonesia telah ada 12 sistem pengelolaan air limbah domestik terpusat skala kota,dengan jaringan perpipaan pengumpul air limbah domestik dari rumah-rumah dan kemudian diolah di Instalasi Pengolahan Air Limbah.

"Pemerintah juga sedang mempersiapkan 9 sistem baru di 8 kota. Selain itu, sekitar 20 kota juga telah memulai sistem pengelolaan lumpur tinja yang dilakukan dengan penyedotan lumpur tinja berkala untuk kemudian diolah di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja,"� tambahnya.

Ditambahkan Aldy bahwa untuk mempercepat perbaikan kondisi sanitasi di wilayah perkotaan, pemerintah juga tengah membangun sistem setempat dan terpusat melalui dukungan dana APBN dan dana non-pemerintah. Pemerintah pun juga telah menjalin kolaborasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk mitra pembangunan.

Kendati demikian, semua perbaikan dan perkembangan ini masih dirasa belum cukup, karena perkembangan yang ada tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk yang harus dilayani.

Diketahui, lebih dari 50% penduduk Indonesia hidup di kawasan perkotaan, dan diperkirakan akan mengalami lonjakan tajam hingga 66% di tahun 2035 nanti. Dengan itu, tidak terelakkan pembangunan sistem pengolahan sanitasi saja tidaklah cukup, perbaikan kondisi perlu diikuti dengan peningkatan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya pengelolaan air limbah, termasuk tinja.

Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa sarana sanitasi yang baik bukan sekadar hanya melakukan mandi, cuci, dan buang hajat di kamar mandi saja. Tapi mereka juga harus memikirkan pengelolaan air limbah rumah tangga dan tinja mereka.

Berikan informasi bahwa punya jamban harus lengkap dengan tangki septik, selain itu juga mereka harus rutin melakukan penyedotan tinja secara berkala.

Bila ini semua sudah dilakukan, ancaman tinja pun tidak lagi mengintai. Kota menjadi bersih dan hidup di permukiman sehat bukan lagi sebatas cita-cita belaka.

Disisi lain, Ika Francisca, BC/Marketing Advisor, IUWASH Plus, USAID, menerangkan, tantangan sanitasi di perkotaan itu cukup unik, karena tidak hanya ditemui di kawasan permukiman padat, namun juga dijumpai pada kawasan permukiman dengan kondisi ekonomi masyarakat menegah keatas.

Dengan itu, cara memberikan pemahaman dan sosialiasi sanitasi di perkotaan sebaiknya tidak dilakukan dengan cara menggurui, tetapi dengan memberikan pemahaman bahwa perilaku sanitasi yang benar merupakan bagian dari gaya hidup sehat dan bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan kita semua.

Dengan memiliki sarana sanitasi yang baik juga secara otomotis kita berperan dalam menjaga kualitas air dan kebersihan lingkungan yang bermanfaat untuk generasi mendatang. Menurut Ika, cara seperti itulah yang biasanya lebih diterima oleh masyarakat di perkotaan.

"Karena warga perkotaan itu mempunyai akses informasi yang lebih luas, maka kita tidak bisa memposisikan mereka sebagai orang yang tidak tahu apa-apa, jika itu dilakukan otomatis akan ditolak. Cara ampuh ialah dengan mengaitkan sanitasi dengan gaya hidup masa kini. Misal, warga keren itu yang rutin menyedot tangki septik,"� pungkas Ika.

Saat ini IUWASH juga tengah membantu pemerintah dalam meningkatkan kondisi sanitasi pada sejumlah wilayah perkotaan di beberapa provinsi, salah satunya Kota Malang, Jawa Timur yang kini sebagian kecil warganya sudah tersambung dan terlayani dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).