Pentingnya Sanitasi Berketahanan Iklim untuk Pencapaian Sanitasi Aman

Sebagai rangkaian dari kegiatan Asia Pacific Climate Week (APCW), dalam waktu dekat ini, UNICEF-East Asia and Pacific Regional Office (EAPRO) baru saja mengadakan webinar dengan tema “Enhancing Climate Resilience of Essential Services for Children and Most Vulnerable Populations” yang mengulas tentang pentingnya edukasi perubahan iklim kepada para pemuda. Dalam webinar tersebut juga dibahas mengenai pentingnya keterlibatan banyak pihak dalam menangani isu tersebut, serta tentang keterkaitan isu ketahanan iklim dengan sanitasi.

Untuk mengulas hubungan sektor sanitasi dengan perubahan iklim, hadir dalam kegiatan ini yaitu Koordinator Bidang Air Minum dan Sanitasi, Kementerian PPN/Bappenas, Nur Aisyah Nasution.

Dalam paparannya, Aisyah menyatakan, saat ini Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target SDGs 2030 yaitu menyediakan akses air minum dan sanitasi aman bagi semua. Target SDGs tersebut juga telah diinternalisasikan dengan target nasional melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Menurut Aisyah, sebagai negara dengan letak geografis di wilayah 60% lautan, Indonesia tentunya sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Selain itu, perubahan iklim juga berpotensi meningkatkan timbulnya bencana alam. Bahkan, adanya perubahan iklim diprediksi dapat mengakibatkan kerugian ekonomi hingga 7% dari nilai Produk Domestik Bruto Indonesia, serta berdampak pula pada kehidupan sekitar 40 juta penduduk yang tinggal di daerah pesisir dan daratan rendah.

Membahas tentang bahaya perubahan iklim terhadap layanan sanitasi, dalam presentasinya Aisyah menjelaskan bahwa, perubahan iklim berpotensi menghambat kemajuan agenda pembangunan sanitasi yang telah menjadi target SDGs 2030. "Perubahan iklim juga mengancam lingkungan sehat yang juga berkaitan dengan perkembangan anak dan kelompok rentan lainnya," ujar Aisyah.

Berkaitan dengan itu, salah satu hasil studi menunjukkan, perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya kekeringan, banjir, naiknya permukaan air laut, hingga angin kencang ini dapat mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses sanitasi aman, seperti toilet dalam jangka waktu yang tidak sebentar. "Bisa sampai hitungan minggu atau bulan. Kekeringan, banjir, atau angin kencang dapat membuat tidak adanya air yang cukup, sehingga sulit untuk menyiram kloset yang berujung pada praktik buang air besar sembarangan di tempat terbuka. Bahkan semua kejadian itu juga bisa merusak sarana yang telah dibangun, hingga membuat stress, dan tidak nyaman," papar Aisyah.

Berkaitan dengan kondisi dan tantangan tersebut, disampaikan Aisyah, ada beberapa aspek yang direkomendasikan guna meningkatkan kondisi sanitasi yang tahan perubahan iklim. Adapun, aspeknya meliputi, aspek tata kelola dan kelembagaan, pembiayaan yang responsif dan berkelanjutan, infrastruktur sanitasi yang kuat, mudah dikelola dan diperbaiki, serta keterlibatan pengguna dan kesadaran masyarakat. Di samping itu, kolaborasi para pemangku kepentingan juga merupakan aspek lain yang tidak boleh terlewatkan.

"Dalam mengatasi tantangan perubahan iklim, pemerintah pusat juga perlu mengambil bagian untuk memetakan risiko dan mengintegrasikan penilaian kerentanan iklim ke dalam rencana strategis.  Seperti menyusun rencana aksi regional, persetujuan konstruksi, perencanaan dan pengembangan sektor air minum dan sanitasi yang lebih tahan perubahan iklim, memantau dampak langsung dari perubahan iklim, serta mengembangkan materi pelatihan untuk pemerintah daerah," terang Aisyah.

Sementara itu, terkait keterlibatan banyak pihak, Aisyah menyatakan, selain dapat melibatkan akademisi, dalam penanganan perubahan iklim ini juga perlu melibatkan anak muda untuk menyuarakan isu sanitasi dan perubahan iklim ini. “Kita perlu bergerak maju dan melakukan upaya nyata untuk mengintegrasikan fasilitas air minum dan sanitasi, mempertahankan sistem yang ada, menjadikannya kerangka kerja, serta membuatnya lebih terintegrasi dengan sektor-sektor terkait lainnya. Dalam menyuarakan pentingnya isu air minum, sanitasi,  dan perubahan iklim kita juga perlu melibatkan anak muda dan organisasi pemuda, agar gaungnya semakin terdengar," pungkas Aisyah.

 Libatkan Pemuda Dalam Isu Perubahan Iklim
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, dalam kegiatan ini juga dibahas tentang pentingnya edukasi perubahan iklim kepada kaum muda, di mana hal tersebut dilakukan agar mereka dapat menjadi agen perubahan di masa mendatang.

Education Officer, Unicef Regional South Asia, June Lee dalam presentasinya mengungkapkan, bahwa dalam survei mengenai anak muda dan edukasi perubahan iklim diketahui bahwa, hanya sekitar 6% anak muda yang memahami isu perubahan iklim meski telah mendapat pelajaran di sekolah. Selain itu, sebanyak 69% responden mengaku bahwa mereka khawatir dengan perubahan iklim di tingkat tertentu, sedangkan 31% responden mengatakan, mereka tidak khawatir. Dijelaskan bahwa, Sri Lanka menjadi negara dengan paling banyak anak muda yang peduli akan isu perubahan iklim, kemudian diikuti Bhutan, Maladewa, Bangladesh, dan Nepal.

Diterangkan June, bahwa survei ini diikuti oleh 25000 responden, dengan rentang usia 15-24 tahun yang tinggal di wilayah perdesaan atau perkotaan, dari delapan negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Adapun pertanyaan yang diajukan ialah fokus pada empat hal yaitu,  pertama mengenai dampak perubahan iklim kepada masyarakat, kedua ialah peluang apa yang dimiliki anak muda dalam belajar dan mengambil tindakan, ketiga terkait minat anak muda terhadap inisiatif perubahan iklim, dan keempat tentang pemberdayaan anak muda untuk menjadi agen perubahan.

Dengan mengacu pada hasil survei tersebut, June menyatakan bahwa, membekali para pemuda dengan edukasi terkait isu perubahan iklim bisa menjadi solusi efektif yang dapat dilakukan. Pasalnya upaya tersebut bukan hanya dapat meningkatkan kesadaran, namun juga bisa memicu perubahan perilaku. Selain memberikan edukasi, hal lain yang perlu dilakukan pemerintah terkait isu perubahan iklim ialah melibatkan pemuda dalam menginformasikan kebijakan nasional terkait perubahan iklim yang ada di masing-masing negara.

Perlunya keterlibatan pemuda dalam isu perubahan iklim nyatanya juga diamini oleh Acting Executive Secretary of the National Designated Authority to the CGF, Principal Adviser Office of the State Secretariat for the Environment, Timor Leste, Juliao Dos Reis.

"Anak-anak adalah masa depan yang perlu dilindungi, kita perlu memastikan agar di masa depan mereka tetap bisa menikmati lingkungan," ucapnya. Berangkat dari itu, maka para pemuda perlu diberikan edukasi dan dilibatkan dalam isu perubahan iklim agar dapat lebih menghargai dan mencintai lingkungannya.

Lebih lanjut, Juliao juga menyampaikan bahwa, negaranya sangat serius dalam menangani isu lingkungan dan perubahan iklim. Saat ini, setidaknya sebanyak 5-6 juta dollar telah dialokasikan Timor Leste untuk lingkungan.

Di sisi lain, Regional Adviser of Leading Climate Change And Environmental Sustainability, UNICEF In EAPRO Office, Seonmi Choi mengatakan bahwa, ada banyak dampak perubahan iklim baik secara langsung maupun tidak langsung yang dirasakan para kaum muda, terutama terkait dengan pendidikan.

Seonmi mengilustrasikan bahwa, pada saat terjadi bencana Topan di Filipina 2018 lalu, sebanyak 1 juta siswa tidak bisa mengakses pendidikan karena sekolah ditutup. Bukan hanya berdampak pada tingkat kelulusan yang menurun, tingkat pendaftaran sekolah juga dikabarkan menurun.

"Dampak perubahan iklim tersebut, lebih banyak memengaruhi anak-anak di daerah terpencil, dari rumah tangga miskin, anak imigran, serta siswa yang lebih senior berpeluang putus sekolah untuk membantu mata pencaharian keluarga," terang Seonmi.

Mengacu pada fakta tersebut, Seonmi menjelaskan bahwa, UNICEF saat ini tengah mengembangkan Kerangka Pendidikan Cerdas Iklim (Smart Climate) yang merupakan suatu sistem mitigasi dampak perubahan iklim untuk melindungi hak anak atas pembelajaran yang adil dan berkualitas.

Kerangka Smart Climate ini fokus pada lima pemangku kepentingan yaitu siswa, lingkungan sekolah dan bangunan, guru dan staf sekolah, orang tua dan komunitas, dan terakhir adalah pemerintah. Untuk siswa, kerangka ini akan fokus pada akses dan kualitas pendidikan, kemudian untuk lingkungan sekolah dan bangunan akan fokus pada ketahanan infrastruktur. Guru dan staf akan mengacu pada kesinambungan pendidikan. Sedangkan orang tua dan komunitas untuk mendukung pembelajaran berkualitas, dan pemerintah berperan dalam penyediaan lingkungan pendidikan yang kondusif.

Selain melibatkan pihak-pihak yang telah disebutkan sebelumnya, Seonmi pada webinar ini juga menyoroti masih kurangnya keterlibatan sektor sosial, terutama dalam perencanaan dan pembiayaan kebijakan perubahan iklim, padahal sektor ini seharusnya terlibat.

"Sampai sekarang keterlibatan sektor sosial dalam hal perencanaan dan pembiayaan kebijakan perubahan iklim masih sangat kurang, padahal sektor tersebut sangat berkaitan, terutama dalam memberikan layanan penting bagi anak-anak, khususnya anak dari masyarakat paling terpinggirkan. Sektor sosial ini seharusnya dapat mendukung untuk pemenuhan akses kesehatan, pendidikan, gizi, air minum, dan sanitasi. Secara keseluruhan, tingkat keterlibatan sektor sosial memiliki hubungan dengan perubahan iklim," pungkas Seonmi.