What a Perfect World




Sanitasi, khususnya subsektor air limbah domestik, dan air minum telah menjadi keprihatinan dunia. Lima tahun silam, Sekjen PBB Ban Ki-moon menghimbau negara-negara memasukkan “hak atas air dan sanitasi” ke dalam undang-undang. Jika perlu ia tertulis jelas dalam konstitusi negara. Bukan berarti rakyat akan mendapatkan air dan layanan sanitasi secara gratis, tetapi ia harus terjangkau dan tersedia setiap saat. “Dan ini adalah tugas negara untuk memastikan ini terjadi,” tegasnya.

Lebih dari 70 tahun kita merdeka, dan 60jutaan manusia Indonesia tidak punya akses pada jamban yang layak alias masih buang air besar sembarangan.

Gila, tapi demikian faktanya. Jangan sekalipun Anda pernah bayangkan jamban seluruh penduduk Indonesia seperti toilet di kamar mandi Anda atau seperti toilet di mal-mal atau rest room di hotel-hotel. Buang jauh-jauh penilaian seperti itu.



Kalau Anda suka keluar-masuk kawasan pakumis atau padat kumuh miskin (istilah yang kerap digunakan kementerian-kementerian untuk menggambarkan suatu kawasan) di perkotaan, atau perkampungan nelayan, atau desa-desa miskin Anda akan menemukan sebagian besar penduduk masih BAB persis seperti 5.000 ribu silam, ketika manusia belum menemukan “toilet”.

Kita buang air besar di selokan depan rumah, di halaman belakang, di kali kecil, di atas rel kereta, di kantong plastik untuk sekadar dilempar-buang ke mana kita suka. Pendeknya di mana saja kecuali di toilet. Di kota-kota besar, kita kerap menginjak tinja di trotoir. Dan septic tank kita tak pernah sekalipun dikuras atau disedot. What a perfect world!

Kita boleh tertawa atau berduka atau bersikap biasa-biasa saja. Faktanya, kita jauh tertinggal bandingkan, bahkan, negara-negara di Asia Tenggara. Cakupan sanitasi kita sekitar 74%, yang berarti sekitar 60jutaan lebih yang masih buang air besar sembarangan.

Buruknya perencanaan pembangunan? Kurangnya anggaran, rendahnya kesadaran, atau tidak adanya komitmen negara? Mungkin keempat-empatnya menjadi faktor yang membuat posisi sanitasi kita terpuruk. Faktanya adalah:

  • akibat buruknya kondisi sanitasi, negara menderita kerugian efektif sebesar Rp 56 triliun per tahun
  • kalau negara (dan kita semua) secara rata-rata menginvestasikan US$ 5 saja per tahun, maka uang negara yang terselamatkan adalah Rp 40 triliun per tahun
  • alokasi untuk sektor sanitasi masih jauh di bawah 1%; bandingkan dengan sektor pendidika yang 20%, bandingkan dengan belanja prabayar untuk telepon selular yang mencapai lebih dari Rp 40 triliun

Kita berharap negara tidak lagi mengelak dari tanggung jawabnya untuk memperbaiki kondisi sanitasi. Ini adalah kebutuhan dasar yang menjadi kewajiban negara untuk mewujudkannya. Tapi kali ini, ada baiknya jika kita memaknai negara bukan sekadar pemerintah/provinsi/kabupaten/kota, tetapi juga masyarakat luas, dunia usaha, Anda, dan tentu saja saya sendiri.

Artikel ini juga bisa dibaca: http://www.usdp.or.id